{BAB TIGA 8} KHAUF (al-Qusyairiyyah)

TERJEMAH KITAB 
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”

8.
KHAUF


Allah swt. berfirman :
“Mereka menyeru kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa takut (khauf) dan harap.” (Qs. As-Sajdah :16).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Tidak akan masuk neraka, orang yang menangis karena takut kepada Allah swt, selama air susu masih mengalir dari susu seorang Ibu. Dan debu dari jalan Allah tidak akan pernah bercampur dengan asap api neraka pada batang hidung seorang hamba selamanya.” (H.r. Ar-Rafu’y).
Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Seandainya kamu semua tahu apa yang kuketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Saya katakan bahwa takut (al-khauf) adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan. Apabila dalam seketika timbul rasa takut, maka ketakutan itu tidak ada kaitannya. Takut kepada Allah swt. berarti takut pada hukum-Nya, “Maka takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran :175). Dia juga berfirman : “Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu menyembah>” (Qs. An-Nahl :51). Juga firman-Nya : ereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka.” (Qs. An-Nahl:50).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan : Takut memliki berbagai tahapan. Yaitu, Khauf, khasyyah dan haibah.”
Khauf merupakan salah satu syarat iman dan hukum-hukumnya. Allah swt. berfirman : “Takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran :75). Sedangkan Khasyyah adalah salah satu syarat pengetahuan, karena Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya yagn takut kepada Allahdi antara hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Qs. Fathir :28). Sedangkan Haibah adalah salah satu syarat pengetahuan ma’rifat, sebab Allah swt. berfirman : “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)Nya.” (Qs. Ali Imran : 28).
Abu Hafs menegaskan : “Takut adalah cambuk Allah swt. yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak ke luar dari ambang pintu-Nya.”
Abul Qasim al-Hakim mencatat : “Ada dua jenis takut, yaitu gentar (Rahbah) dan takut (Khasyyah). Orang yang merasa gentar mencari perlindungan dengan cara lari ketika takut, Tetapi orang yang merasa takut (khasyyah) akan berlindung kepada Allah swt.”
Memang benar kata-kata rahaba dan lari (haraba) memliki arti yang sama, sebagaimana halnya kata menarik (jadzaba) dan jabadza. Jika seseorang melarikan diri (rahaba), maka ia ditarik kepada hasratnya sendiri, seperti halnya para rahib (ruhban) yang mengikuti hasrat nafsu mereka sendiri. Tetapi jika kendali mereka adalah pengetahuan yang didasarkan pada kebenaran hukum, maka itu adalah takut (khasyyah).
Abu Hafs berkata : “Takut adalah pelita hati, dengan takut akan tampak baik dan buruk hati seseorang.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Takut adalah bahwa Anda berhenti mengemukakan dalih dengan kata-kata “seandainya” (‘asaa) dan “mungkin sekali akan” (saufa).”
Abu Umar ad-Dimasqi menegaskan : “Orang yang takut aalah yang takut akan dirinya sendiri. Lebih takut dari rasa takutnya kepada setan.”
Ibnul Jalla’ berkata : “Manusia yang takut (kepada Allah swt) adalah yang dirinya merasa aman dari hal-hal yang membuatnya takut.”
Ditanyakan kepada Ibnu ‘Iyadh. “Mengapa kita tidak pernah melihat orang-orang yang takut?” Ia menjawab : “Jika Anda termasuk orang-orang yang takut, niscaya Anda akan melihat mereka, sebab hanya orang-orang yang takut saja yang melihat orang yang takut.” Hanya Ibu yang kehilangan anaknya saja yang mau memandang kepada ibu-ibu yang berkabung.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Alangkah malangnya anak Adam. Seandainya ia takut pada neraka sebesar rasa takutnya pada kemiskinan, niscaya ia akan masuk surga/.”
Syah al-Kiramny berkata “Tanda takut adalah sedih yang terus menerus.”
Abul Qaim al-Hakim berkata : “Orang yang takut kepada sesuatu akan lari darinya, tapi orang yang takut kepada Allah swt. akan lari kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry – semoga Allah merahmatinya – ditanya, “Bilakah jalan takut menjadi mudah bagi seorang hamba?” Ia menjawab : “Apabila ia mengibaratkan dirinya dalam keadaan sakit dan menghindari dari segala sesuatu yang dikhaatirkan justru akan menjadikan penyakit berkepanjangan.”
Mu’adz bin Jabal r.a. menuturkan : “Seoang beriman tidak akan merasa tenteram, dan rasa takutnya tidak dapat ditenangkan sampai ia melewati jembatan sirathal mustaqim di atas neraka.”
Bisyr al-Hafi berkomentar : “Takut kepada Allah swt. adalah raja yang hanya bersemayam di dalam hati seorang yang saleh.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Kekurangan yang dihadapi oleh seorang yang takut adalah justru dalam rasa takutnya.”
Al-Wasithy mengatakan : “Takut adalah tabir antara Allah swt. dan hamba.” Pernyataan ini mengandung kemusykilan, tetapi maknanya ialah bahwa seorang yang takut menunggu-nunggu saat yang akan datang, sementara “anak-anak waktu kini” tidak punya harapan akan masa depan. Sedag keutamaan orang saleh adalah dosa bagi kaum yang dekat dengan Allah swt. (Muqarrabun).”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Seorang yang takut adalah orang yang lari dari Tuhannya  kepada Tuhannya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Tanda rasa takut adalah kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu gerbang kegaiban.”
Ketika al-Junayd ditanya mengenai takut, ia menjawab : “Takut adalah datangnya deraan dalam setiap hembusan nafas.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Manakala takut telah meninggalkan hati, maka binasalah ia.”
Abu Utsman berkata : “Ketulusan dalam takut adalah wara’ lahir maupun batin.”
Dzun Nuun berkata : “Manusia akan tetap berada di jalan selama tiakut tidak tercabut dari hati, sebab jika takut telah hilang dari hati mereka, maka mereka akan tersesat.”
Hatim al-Asham menjelaskan : “Setiap sesuatu ada perhiasannya, dan perhiasan ibadat adalah takut. Tanda takut adalah membatasi keinginan.”
Seseorang mengatakan kepada Bisyr al-Hafi : “Saya lihat Anda takut mati.” Bisyr al-Hafi menjawab : “Datang ke hadirat Allah swt. adalah suatu perkara yang sangat dahsyat.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq bertutur : “Aku pergi mengunjungi Abu Bakr furak ketika ia sakit. Ketika melihatku, air matanya amengalir bercucuran. Lalu aku pun berkata kepadanya : “Semoga Allah mengembalikan kesehatanmu dan menyembuhkanmu dari sakit.” Ia memprotes : “Anda pikir aku takut mati? Sebaliknya aku takut akan apa yang ada di balik kematina.”
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. (Aisyah putri Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (wafat 58 H/678 M.) merupakan salah seorang wanita paling pandai di bidang agama. Beliau Istri Rasulullah saw. dan paling dicintainya. Disamping itu beliau terbanyak meriwayatkan hadits, dibanding istri-istri Rusalullah yang lain). Yang bertanya : “Wahai Rasulullah, (sambil membaca ayat) ‘dan orang-orang yang memberikan hartanaya dengan hati penuh rasa takut (karena mereka akan kembali kepada Tuhannya)’ (Qs. Al-Mu’minun : 60-1), apakah mereka itu orang-orang yang pernah mencuri dan berzina serta minum-minuman keras? Beliau menjawab : “Bukan, mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan shalat dan membayar zakat, namun takut kalau-kalau semua amal mereka itu tidak diterima. ‘Mereka adalah orang-orang yang bergegas pada kebajikan dan sangat berpacu (menuju kebajikan itu”’ (Qs. Al-Mu’minun :60-1).”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Sesuatu yang menimbulkan rasa takut hingga bersemayam dalam hati adalah mengabadikan muraqabah secara terus menerus, baik secara lahir maupun batin.”
Ibrahim bin Syaiban berkomentar : “Manakala takut menetap dalam hati, maka obyek nafsu akan terbakar habis darinya dan hasrat atas dunia akan terusir,” Dikatakan : “Takut adalah supramasi ilmu sesuai dengan hukum-hukum.”
Dikatakan : “Takut adalah gerak kalbu dari keagungan Allah swt.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Seyogyanya kalbu tidak dikalahkan, kecuali oleh rasa takut. Sesungguhnya apabila harapan telah melimpah dalam kalbu, musnahlah kalbu.” Kemudian ia katakan : “Wahai Ahmad (muridnya), mereka naik melalui takut, dan jika mereka mengabaikan, mereka akan jatuh.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takut (khauf) dan harap (raja’) adalah kendali bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-siaan.” Ia pun berkata : “Jika Tuhan menguasai wujud manusia yang paling dalam (sirr), maka harapan dan ketakutan tidak akan tersisa lagi. Sebab takut dan harap itu sendiri merupakan akibat-akibat belaka dari rasa indera hukum kemanusiaan.”
Al-Husain bin Manshur berkata : “Barangsiapa takut akan sesuatu selain Allah swt. atau berharap akan sesuatu selain Dia, maka semua pintu akan tertutup baginya dan rasa takut akan mendominasinya, menabiri hatinya dengan tujuhpuluh tabir, yang paling tipis diantaranya adalah keragguan. Yang membuatnya takut adalah perenungannya atas akibat-akibat nanti dan ketakutannya jika perilakunya berubah.”
Firman-Nya :
“Dan jelaslah bagi mereka azan dari Allah yang belum pernah mereka perrkirakan.” (Qs. Az-Zumar :47).
Alalh swt. berfiman : “Katakanlah, Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Q.s. Al-Kahfi :103-4).
Maka, betapa banyak orang yang akan merasa senang dengan keadaan mereka dan mereka diuji, sehingga perilakunya berbalik secara antagonis. Ketika itulah muqarabah dengan perbuatan keji, dan hudhur menjadi ghaib.
Saya sering mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. mendendangkan syair :
Engkau duga hari-hari penuh kebaikan jika engkau baik
Tapi engkau tak pernah takut tentang takdir buruk yang bakal tiba
Malam-malam hari memberikan ketentraman kepadamu
Hingga engkau tertipu olehnya,
Sesudah malam yang cerah datanglah kesedihan.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby, membacakan sebuah kisah :
“Ada dua orang yang saling menemani dalam menempuh cita-cita spiritual. Kemudian salah seorang diantaranya pergi meninggalkan sahabatnya. Seiring perjalanan waktu yang cukup lama, tidak terdengar lagi kabar berita mengenainya. Sahabat yang ditinggal pergi itu kemudian ikut berperang bersama tentara Muslim memerangi balatentara Romawi. Dalam pertempuran itu, seorang tentara musuh yang memakai baju besi menyerang tentara Muslim dan menantang duel. Seorang ksatria Muslim maju ke depan dan tentara musuh itu membunuhnya. Kemudian maju lagi seorang ksatria Muslim, dan ia pun terbunuh. Kasatria Muslim yang ketiga maju ke depan, juga terbunuh. Kemudian majulah Sang Sufi ke depana dan keduanya lalu terlibat dalam pertempuran. Topeng yang menutupi wajah tentara Romawi itu terlepas, dan ternyata aia adalah sahabat sang Sufi yang dulu telah menemaninya beribadah selama bertahun-tahun! Maka berserulah san Sufi : Model apa ini?”
Musuhnya menjawab : “Aku telah murtad dan menikah dengan sorang wanita dari kaum ini. Aku sudah memiliki anak-anak dan harta kekayaan.”
Sang Sufi berteriak : “Dan engkau adalah orang yang dahulu bisa membaca Al-Qur’an dengan berbagai gaya bacaannya!.”
Ia menjawab : “Satu huruf pun aku tidak ingat lagi dari padanya.”
Maka, sang Sufi lalu berkata kepadanya : “Berhentilah dari sikap perilakumu itu, bertobatlah!>”
Ia menjawab dengan ketus : “Aku tidak mau, sebab aku telah memperoleh kemasyhuran dan kekayaan. Tinggalkan saja diriku, atau aku akan melakukan atas dirimu sebagaimana yang telah kulakukan terhadap ketiga orang temanmu!.”
Sang Sufi berkata : “Ketahuilah, bahwa engkau telah membunuh tiga orang Muslim. Tidak ada malu yang akan menimpamu jika kamu pergi saja dari sini. Karena itu, pergilah dan aku akan memberimu tenggang waktu!.”
Maka, orang itu pun mundur ke belakang dan berbalik. Sang Sufi mengikutinya dan membunuh dengan pedangnya. Sungguh ironis, setelah menempuh perjuangan dan disiplin spiritual yang cukup lama dan berat, orang itu akhirnya mati sebagai orang Nasrani!.”
Dikatakan : “Ketika iblis tampail sebagaimana dirinya, Jibril dan Mikail – semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada mereka – tiba-tiba menangis cukup lama hinggal Allah swt berfirman kepada mereka : “Wahai kalian berdua, mengapa menangis sedemikian itu?” Mereka menjawab : “”Wahai Tuhan kami, kami tidak merasa aman dari cobaan-Mu.” Allah swt. berfirman : “Nah, kalian berdua ternyata tidak bisa aman dari cobaan-Ku.”
Riwayat dari Sary as-Saqathy yang menjelaskan : “Aku melihat hidungku beberapa kali dalam sehari dengan cara seperti ini, karena takut hidungku menghitam karena hukuman yang kutakuti.”
Abu Hafs menuturkan : “Selama empat puluh tahun aku benar-benar yakin bahwa Allah swt. memandangku dengan murkan dan semua amal perbuatanku membuktikan hal itu.”
Hatim al-Asham menegaskan : “Janganlah kamu tertipu oleh tempat-tempat yang saleh, sebab tidak ada tempat yang lebih saleh daripada surga, dan pikirkanlah apa yang telah menimpa Adam as. Di tempat yang begitu saleh! Jangan Jangan pula kamu tertipu oleh banyaknya amal ibadat. Sebab, setelah iblis melakukan ibadat begitu lama, ternyata ia harus mengalami nasibnya seperti itu. Juga, janganlah kamu tertipu oleh banyaknya ilmu, sebab Bal’am pun mengetahui Nama Allah Yang Teragung (Al-Ismul A’dzham), tapi lihatlah apa yag terjadi padanya? Jangan pula kamu tertipu karena bertemu dengan seorang yang saleh, sebab tidak ada orang yang takdirnya lebih agung daripada al-Musthafa Muhammad saw, sebab para kerabat dan musuh-musuhnya tidak mengambil manfaat atas perjumpaan dengannya.”
Ketika bertemu dengan sahabt-sahabtnya pada suatu hari, Ibnul Mubarak melaporkan : “Aku begitu memberanikan diri kepada Allah swt. kemarin. Dan aku benar-benar meminta surga.”
Dikatakan bahwa Isa as. Sedang bepergian, dan bersamanya ada seorang saleh dari bani Israil. Seorang yang terkenal karena kebobrokan akhlaknya, mengikuti mereka. Duduk agar jauh dari mereka berdua, ia beseru kepada Allah swt. dengan penuh kerendahan hati : “Wahai Tuhanku, ampunilah aku!” Sedang si orang saleh berdoa : Ya Allah, bebaskan aku dari orang berdosa yang mengikuti aku ini, mulai besok pagi.” Maka Allah swt. pun mewahyukan kepada Isa as. : “Aku telah menjawab doa keda orang yang berdoa ini; telah Ku tolak doa orang yang saleh ini, dan telah Kuampuni sipendosa ini.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Aku bertanya kepada seorang yang alim : “Mengapa orang-orang mengatakan Anda gila?” Ia menjawab : “Ketika Dia mengusirku dari sisi-Nya untuk waktu yang lama, aku menjadi gila karena takut terpisahkan dari-Nya di akhirat.”
Mengenai makna ucapan ini, para Sufi membacakan bait-bait berikut ini :
Bahkan kalaupun aku terbuat dari batu,
Niscaya aku akan meleleh
Maka, bagaimana satu makhluk
Yang terbuat dari tanah
Akan menahannya?
Salah seorang Sufi berkomentar : “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih besar harapannya di tengah-tengah ummat ini, dan lebih takut berkenaan dengan dirinya sendiri daripada Ibnu Sirin.”
Sufyan ats-Tsauri jatuh sakit. Ketika alasan sakitnya diberitahukan kepada tabib, tabib itu berkata : “Ini adalah orang yang hatinya telah tersobek karena rasa takut.” Tabib itu datang dan memeriksa denyut nadinya, lalu berkata : “Aku tidak tahu bahwa di kalangan orang beragama ada manusia yang seperti ini.”
Syibly ditanya : “Mengapa matahari warnanya pucat ketika akan terbenam?” Ia menjawab : “Sebab matahari telah tergelincir dari tempat kesempurnaan. Ia menjadi kekuning-kuningan karena ketakutannya terhadap tahapannya sendiri. Bagi orang yang beriman, saat menjelang keberangkatannya dari dunia ini telah dekat, warna kulitnya akan menjadi pucat karena ia takut akan berdiri di hadapan Tuhannya. Dan ketika matahari terbit, ia bersinar cemerlang. Sama halnya dengan seorang beriman, ketika dibangkitkan dari kubur, ia muncul dengan wajah yang bersinar.”
Ahmad bin Hanbal r.a. berkata : “Aku memohon kepada Tuhanku swt. agar membukakan pintu takut. Dia membukakannya, dan aku pun lalu mengkhawatirkan kewarasan pikiranku. Karena itu aku beroda : “Ya Allah, anugerahkan kepadaku rasa takut sebatas yang bisa kumampui.” Kemudian ketenangan menghapus kekhawatiranku.”





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "{BAB TIGA 8} KHAUF (al-Qusyairiyyah)"

Post a Comment